Pak Tino Sidin tidak pernah
mengkritik langit yang tidak biru, tanah yang ungu atau ayam dengan warna merah
menyala, semuanya bagus
Siapa yang masih ingat Pak Tino
Sidin? Bagi pembaca yang berusia diatas 30 tahun dan mempunyai hobi menggambar
niscaya bukan saja ingat, tapi everlasting mengenangnya. Sosok kebapakan
dengan gaya seniman yang khas. Topi bareta, kacamata bingkai tebal, senyuman
cengar cengir dan satu kata ajaib yang ditunggu jutaan pemirsa anak – anak
Indonesia: Yak, Baguuuus!
Berbunga – bunga hati ketika gambar
yang diangkatnya adalah gambar yang saya kirim ke redaksi TVRI acara Gemar
Mengambar Bersama Pak Tino Sidin. Sumringah hati, terpaku di layar kaca ketika
beliau mulai mengulas: Kiriman dari adek kita...doday, eehmm..dodiii ya dodi
hidayat dari SD 05 pagi bintaro, kelas empat..ooo ada Superman sedang
mengangkat kapal terbang yang terbakar, yak baguuusss! Semenjak itu, seperti
ada energi mengalir dari layar TV memenuhi sanubari, penuh inspirasi dan semangat.
Waktu itu dengan percaya dirinya saya akan jawab lugas pertanyaan klasik dari
siapapun: Cita – cita Doddy apa? Pelukis!
Sesungguhnya Pak Tino Sidin adalah
selebritis di jamannya. Kalau kita perhatikan tayangan filem atau drama seperti
sinetron di TVRI dulu, kalau ada peranan seniman pasti style nya dibuat mirip
beliau. Bukan saja diidolakan anak – anak, Pak Tino juga menjadi trend setter.
Mengenang beliau menjadi penting bukan karena eksistensinya saja, tetapi
sumbangsih beliau yang besar sebagai tokoh pendidikan nasional, khususnya
motivator pengembangan kreatifitas. Bagi orang dewasa, cara beliau mengajarkan
menggambar mungkin kelihatan remeh. Tarik gariiis, lengkung, lengkung besar,
lengkung kecil, bulaat..nah jadi deh kucing. Tapi bagi kami anak – anak waktu
itu, apa yang diterangkan adalah solusi praktis. Teknik yang diajarkan
merupakan jembatan antara daya imajinasi anak – anak yang tinggi dengan media
kertas dan spidol. Pak Tino tidak pernah mengajarkan kita menghapus. Menarik
garis seperti rangkaian cerita tersendiri. Sekali coret harus berani
menyelesaikan.
Pak Tino tidak pernah mengkritik
langit yang tidak biru, tanah yang ungu atau ayam dengan warna merah menyala.
Semuanya bagus. Semangat ini juga yang saya tanamkan pada Salma putri
kesayangan saya. Semakin saya puji gambarnya, semakin berani dan kreatif karya
– karya yang dibuat. Sayangnya pelajaran menggambar di sekolah justru
menerapkan kurikulum sebaliknya. Penilaiannya adalah menggambar harus mirip
dengan obyek aslinya. Langit harus biru, tanah coklat, daun hijau, matahari
kuning. Padahal seni adalah ekspresi. Menggambar sama saja dengan membuat lagu,
mengarang cerpen, membuat tarian. Persoalannya bukan sekedar pada teknik yang
benar, komposisi yang rapih dan pakem – pakem lainnya. Karya seni adalah
ekspresi jiwa. Karya seni yang baik dan memenuhi standar estetika tidaklah
cukup, yang kita cari adalah karya novelties, masterpiece atau maha karya.
Karya yang punya jiwa, cerita, pesan dan pengaruh.
Koleksi
buku gemar menggambar, umurnya sudah 30 tahun, tapi masih rapih dan terawat
|
Satu hal lagi yang penting, berkarya
bukan harus selalu menjadi seniman. Tetapi proses kreasi yang mampu menuangkan
ide, gagasan, imajinasi menjadi karya itulah yang penting. Proses kreasi adalah
proses eksplorasi yang menggunakan otak kiri dan kanan sekaligus, meramu
kemampuan rasional dam emosional untuk menemukan hal baru disegala bidang.
Itulah esensi kreatifitas yang tidak boleh dilupakan dan disisihkan dalam dunia
pendidikan. Yang kita ingin lahirkan bukan sekedar manusia yang mampu mengikuti
resep, tetapi mampu membuat konsep dan resep – resp baru bagi solusi kehidupan.
Menciptakan ide, teori, karya, solusi yang lebih baik dari yang terbaik saat
ini.
Read more: http://www.konsultankreatif.com/2012/11/mengenang-pak-tino-sidin-bagus-satu.html#ixzz2IhCQNu1o
No comments:
Post a Comment